BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sering
kali kita sebagai orang islam tidak mengetahui kewajiban kita sebagai makhluk
yang paling sempurna yaitu melaksanakan Shalat, atau terkadang kita tahu
tentang kewajiban tapi tidak mengerti terhadap apa yang dilakukannya, seperti
halnya ketika kita sedang sakit ataupun sedang berpejalan jauh (musafir). Dalam
pembahasan ini Kelompok akan membahas dan memaparkan tentang Shalat untuk orang
sakit dan musafir.
Shalat
merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah mukallaf dan harus
dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat
merupakan suatu kewajiban bagi setiap kaum muslimin yang sudah mukallaf dan
harus dikerjakan bagi kaum muslimin meskipun dalam keadaan sakit atau
berpejalan jauh.
Shalat
merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi
(tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat
,maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia
meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah. Untuk membatasi bahasan penulisan dalam makalah ini Kelompok hanya akan membahas Shalat bagi orang sakit dan berpergian jauh (Musafir).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat – shalat sunah. Untuk membatasi bahasan penulisan dalam makalah ini Kelompok hanya akan membahas Shalat bagi orang sakit dan berpergian jauh (Musafir).
B.
Tujuan
1. Tujuan
umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami
bagaimana hukum dan tata cara Shalat bagi orang sakit dan Musafir.
2.
Tujuan khusus
a.
Dapat mengetahui dan
memahami hukum dan tata cara Shalat orang sakit.
b.
Dapat mengetahui dan
memahami hukum dan tata cara Shalat Musafir.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Shalat Bagi Orang yang
Sakit
1.
Pengertian
Seorang hamba terkadang diuji oleh Allah dengan sakit yang menimpanya,
sakit tersebut bisa berupa sakit yang ringan tetapi tidak sedikit pula seorang
hamba yang diuji oleh Allah dengan diberi sakit yang menyebabkan hamba tersebut
harus dirawat dirumah sakit sehingga menghabiskan hari-harinya dengan beristirahat
diatas dipan. Dalam keadaan demikian, kaum muslimin dibagi menjadi dua golongan
yang berkenaan tentang kewajiban shalat yang harus dilakukannya sebagai seorang
muslim, pertama enggan melaksanakan
shalat karena alasan sakitnya -baik sakit ringan atau berat- dan kedua memaksakan diri shalat layaknya ketika masih sehat sehingga
sakitnya tambah parah atau tidak kunjung sembuh.
Syari’at Islam
dibangun di atas dasar ilmu dan kemampuan orang yang dibebani. Tak ada satupun
beban syari’at yang diwajibkan kepada seseorang di luar kemampuannya. Allah azza wa jalla sendiri menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS.al-Baqoroh:
286)
Allah subhanahu wa ta’ala juga memerintahkan kaum muslimin untuk agar
bertaqwa sesuai dengan kemampuan mereka. Allah berfirman,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka
bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
Orang yang sakit tidak sama dengan orang yang sehat. Masing-masing harus
berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuannya. Dari sini, nampaklah
keindahan dan kemudahan syariat Islam.
Diantara kewajiban agung yang wajib dilakukan orang yang sakit adalah
shalat. Banyak sekali kaum muslimin yang terkadang meninggalkan shalat dengan
dalih sakit atau memaksakan diri melakukan shalat dengan tata cara yang biasa
dilakukan orang sehat.
Akhirnya, mereka pun merasa berat dan merasa terbebani dengan ibadah
shalat. Untuk itu, solusinya adalah mengetahui hukum-hukum dan tata cara shalat
bagi orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam dan penjelasan para ulama.
2.
Hukum-Hukum
Berhubungan dengan Shalat Orang Sakit
Diantara hukum-hukum shalat
bagi orang yang sakit adalah sebagai berikut:
a. Orang yang sakit tetap wajib mengerjakan shalat pada waktunya dan
melaksanakannya menurut kemampuannya, sebagaimana diperintahkan Allah subhanahu
wa ta’ala dalam firman-Nya,
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS.
At-Taghobun: 16)
Dan sabda Nabi shollallahu’alaihi wa sallam dalam
hadits Imron bin Husain:“Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tentang cara shalatnya. Maka beliau
shollallahu’alaihi wa sallam menjawab: Shalatlahdengan berdiri, apabila tidak
mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” (HR. Bukhori
no.1117)
b. Apabila
melakukan shalat pada waktunya terasa berat baginya, maka diperbolehkan menjama’
(menggabung) shalat, shalat Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ baik dengan
jama’ taqdim atau takhir, dengan cara memilih yang
termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh dijama’ karena
waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara dasar kebolehan
ini adalah hadits Ibnu Abbas radliyallahu’anhu yang berbunyi:
“Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam telah
menjama’ antara Dzuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib rahimahullah berkata: “Aku bertanya kepada
Ibnu Abbas radliyallahu’anhu: “Mengapa beliau berbuat demikian?” Beliau
radliyallahu’anhu menjawab: “Agar tidak menyusahkan umatnya. (HR. Muslim no.
705)
Dalam hadits
diatas jelas Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam membolehkan kita menjama’
shalat karena adanya rasa berat yang menyusahkan (masyaqqah) dan sakit adalah masyaqqah. Ini juga dikuatkan dengan menganalogikan orang
sakit dengan orang yang terkena istihadhoh yang diperintahkan Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengakhirkan shalat Dzuhur dan mempercepat
Ashar dan mengakhirkan Maghrib serta mempercepat Isya’.
c. Orang yang
sakit tidak
boleh meninggalkan shalat wajib dalam segala kondisi
apapun selama akalnya masih baik
d. Orang sakit
yang berat shalat jama’ah di masjid atau ia khawatir akan menambah dan atau
memperlambat kesembuhannya jka shalat di masjid, maka dibolehkan tidak shalat
berjama’ah. Imam ibnu al-Mundzir rahimahullah
menyatakan: Tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama bahwa orang sakit
dibolehkan tidak shalat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu kerena nabi
shallallahu’alaihi wa sallam ketika sakit tidak hadir di masjid dan berkata:
“Perintahkan Abu Bakar radliyallahu’anhu agar
mengimami shalat. (Muttafaqun ‘alaihi)
3.
Tata Cara Shalat Bagi Orang Yang
Sakit
Tata cara shalat bagi orang sakit adalah sebagai
berikut:
a. Diwajibkan
bagi orang yang sakit untuk shalat dengan berdiri apabila mampu dan tidak
khawatir sakitnya bertambah parah, karena berdiri dalam shalat wajib merupakan
rukun shalat. Allah azza wa jalla berfirman:
وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ….
”Berdirilah untuk Allah
(dalam shalatmu) dengan khusyu’ ”(QS. Al-Baqarah: 238)
Diwajibkan juga bagi orang
yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok
atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais radliyallahu’anha yang
berbunyi:
”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berusia lanjut
dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran.” (HR.
Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah
ash-Shahihah 319)
Demikian juga orang bungkuk
diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk.
Syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, ”Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang
ruku’ atau bersandar kepada tongkat,
tembok, tiang, ataupun manusia.”
b. Orang yang mampu berdiri namun tidak mampu ruku’ atau sujud, ia tetap wajib
berdiri. Ia harus shalat dengan berdiri dan melakukan ruku’ dengan menundukkan
badannya. Bila ia tidak mampu membungkukkan punggungnya sama sekali, maka cukup
dengan menundukkan lehernya, kemudian duduk, lalu menundukkan badan untuk sujud
dalam keadaan duduk dengan mendekatkan wajahnya ke tanah sebisa mungkin.
c. Orang sakit yang tidak mampu berdiri, maka ia melakukan shalatnya dengan
duduk, berdasarkan hadits ’Imron bin Hushain dan ijma’ para ulama. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan,
”Para ulama terlah berijma’ bahwa orang
yang tidak mampu shalat berdiri maka dibolehkan shalat dengan duduk”.
d. Orang yang sakit yang khawatir akan bertambah parah sakitnya atau
memperlambat kesembuhannya atau sangat susah berdiri, diperbolehkan shalat
dengan duduk. Syaikh Ibnu
Utsaimin rahimahullah berkata: ”Yang benar adalah, kesulitan (masyaqqah)
membolehkan seseorang mengerjakan shalat dengan duduk. Apabila seorang merasa
susah mengerjakan shalat berdiri, maka ia boleh mengerjakan shalat dengan duduk
berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
…….يُرِيدُ
اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ …..
”Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah:185)
Sebagaimana orang yang berat berpuasa bagi orang yang sakit, walaupun masih mampu puasa, diperbolehkan baginya berbuka dan
tidak berpuasa, demikian juga shalat, apabila berat untuk berdiri maka boleh
mengerjakan shalat dengan duduk”. Orang
yang sakit apabila mengerjakan shalat dengan duduk sebaiknya duduk bersila pada
posisi berdirinya, berdasarkan hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Aku melihat Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam shalat dengan bersila”.
Juga, karena duduk bersila
secara umum lebih mudah dan lebih tuma’ninah (tenang) daripada duduk iftirasy.
Apabila rukuk, maka lakukanlah dengan bersila dengan membungkukkan punggung
dan meletakkan tangan di lutut, karena ruku’ dilakukan dengan berdiri
Dalam keadaan demikian,
masih diwajibkan sujud diatas tanah dengan dasar keumumam hadits Ibnu Abbas
radliyallahu’anhu yang berbunyi:
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Aku diperintahkan untuk bersujud dengan tujuh tulang;
dahi –beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke hidung-, kedua telapak tangan,
dua kaki dan ujung kedua telapak kaki.”
(Muttafaqqun a’alaihi).
Bila tetap tidak mampu, ia melakukan sujud dengan meletakkan kedua telapak tangannya ke tanah dan menunduk untuk sujud. Bila
tidak mampu, hendaknya ia meletakkan tangannya di lututnya dan menundukkan
kepalanya lebih rendah dari pada ketika
ruku’.
e. Orang sakit yang tidak mampu melakukan shalat berdiri dan duduk, cara
melakukannya adalah dengan cara berbaring, boleh dengan miring ke kanan atau ke
kiri, dengan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat. Ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ’Imran bin al-Husain
radliyallahu’anhu:
”Shalatlah dengan berdiri,
apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.”
(HR. Al-Bukhori no.1117)
Dalam hadits ini Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam tidak menjelaskan pada sisi mana seseorang harus berbaring, ke kanan atau ke
kiri, sehingga yang utama adalah yang termudah bagi keduanya. Apabila miring ke
kanan lebih mudah, itu yang lebih utama baginya dan apabila miring ke kiri itu
yang termudah maka itu yang lebih utama. Namun bila kedua-duanya sama mudahnya,
maka miring ke kanan lebih
utama dengan dasar keumuman hadits ’Aisyah radliyallahu’anha yang berbunyi:
”Dahulu Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh
urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya.” (HR. Muslim no.396).
Melakukan ruku’ dan sujud
dengan isyarat merendahkan kepala ke dada, ketentuannya, sujud lebih rendah
daripada ruku’. Apabila tidak mampu menggerakkan kepalanya, maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
1) Melakukannya dengan mata. Apabila ruku’, ia memejamkan matanya sedikit
kemudian mengucapkan kata ”sami’allahu liman hamidah” lalu membuka matanya.
Apabila sujud maka memejamkan matanya lebih dalam.
2) Gugur semua gerakan namun masih melakukan shalat dengan perkataan.
3) Gugur kewajiban shalatnya. Inilah adalah pendapat yang dirajihkan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat
kedua dengan menyatakan, ”Yang rajih dari tiga pendapat tersebut adalah
gugurnya perbuatan saja, karena ini saja yang tidak mampu dilakukan. Sedangkan
perkataan, tetap tidak gugur, karena ia mampu melakukannya dan Allah
berfirman”:
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
f. Orang yang tidak mampu berbaring, boleh melakukan shalat dengan terlentang
dan menghadapkan kakinya ke arah kiblat, karena hal ini lebih dekat kepada cara
berdiri. Misalnya bila kiblatnya arah barat maka letak kepalanya di sebelah
timur dan kakinya di arah barat.
g. Apabila tidak mampu menghadap kiblat dan tidak ada yang mengarahkan atau
membantu mengarahkannya, maka hendaklah ia shalat sesuai keadaannya tersebut,
berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ
وُسْعَهَا
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah/ 2:286).
h. Orang sakit
yang tidak mampu shalat dengan terlentang maka shalatnya sesuai keadaannya
dengan dasar firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَاتَّقُوا اللهَ مَااسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu
kepada Allah menurut kesanggupanmu” (QS. At-Taghobun: 16)
i. Orang yang sakit dan tidak mampu melakukan shalat dengan semua gerakan di
atas (ia tidak mampu menggerakkan anggota tubuhnya dan tidak mampu juga dengan
matanya), hendaknya dia melakukan shalat dengan hatinya. Shalat tetap
diwajibkan selama akal seorang masih sehat.
j. Apabila shalat orang yang sakit mampu melakukan perbuatan yang sebelumnya
tidak mampu, baik keadaan berdiri, ruku’ atau sujud, maka ia wajib melaksanakan
shalatnya dengan kemampuan yang ada dan menyempurnakan yang tersisa. Ia tidak
perlu mengulang yang telah lalu, karena yang telah lalu dari shalat tersebut
telah sah.
k. Apabila orang yang sakit tidak mampu melakukan sujud di atas tanah,
hendaknya ia cukup menundukkan kepalanya dan tidak mengambil sesuatu sebagai
alas sujud. Hal ini didasarkan hadits Jabir radliyallahu’anhu yang berbunyi:
”Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam menjenguk orang sakit, beliau melihatnya sedang mengerjakan shalat di atas
(bertelekan) bantal, beliau pun mengambil dan melemparnya. Kemudian ia
mengambil kayu untuk dijadikan alas shalatnya, Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam pun mengambilnya dan melemparnya. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda: ”Shalatlah di atas tanah apabila engkau mampu dan bila tidak maka
dengan isyarat dengan menunduk (al-Imaa’) dan jadikan sujudmu lebih rendah dari
ruku’mu.”
Inilah sebagian hukum yang menjelaskan tata cara shalat bagi orang sakit,
mudah-mudahan dapat memberikan bimbingan kepada mereka. Dengan harapan, setelah
ini mereka tidak meninggalkan shalat hanya karena sakit yang dideritanya.
B. Shalat Bagi Orang
Musafir (Berpejalanan Jauh)
Shalat merupakan
rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas lima sendi (tiang)
salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa mendirikan shalat ,maka ia
mendirikan agama (Islam), dan barang siapa meninggalkan shalat,maka ia
meruntuhkan agama (Islam). Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam
sebanyak lima kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang
harus dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun
sakit.
1.
Pengertian
Shalat Bagi Musafir
Rukhshah (izin): ialah hukum yang
merobah dari kesulitan menjadi kemudahan.
Musafir: ialah seorang Muslim yang
keluar dari negerinya ke negeri lain dengan maksud mengerjakan sesuatu yang
dibolehkan dalam agama seperti bermusafir karena menuntut ilmu, melaksanakan
tugas agama seperti menunaikan Ibadat Haji, menziarahi keluarga atau mencari
rezeki yang halal untuk memenuhi keperluan keluarganya dan negeri yang dituju
harus lebih dari jarak yang telah ditentukan oleh agama. Maka pada saat itu
dibolehkan baginya meng-gashar (mengurangi) shalatnya.
Allah
berfirman
وَإِذَا
ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ
الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ
الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوّاً مُّبِيناً – النساء ﴿١٠١﴾
”Dan
apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar
sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya
orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” an-Nisa’ 101.
عَنْ
يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ ، قَالَ: قُلْتُ لِعُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ: { لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ،
إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا } فَقَدْ أَمِنَ
النَّاسُ، فَقَالَ: عَجِبْتُ مِمَّا عَجِبْتُ مِنْهُ، فَسَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ
بِهَا عَلَيْكُمْ، فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ (رواه مسلم)
Dari Y’ala bin Umayyah ra bahwasanya ia bertanya kepada Umar
bin Khathab ra tentang ayat ini seraya berkata: “Jika kamu takut
diserang orang-orang kafir, padahal manusia telah aman”. Umar ra menjawab:
“Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada
Rasulullah saw tentang hal itu dan beliau menjawab: (Qashar itu) adalah sedekah
dari Allah kepadamu, maka terimalah sedekah Allah tersebut.’” (HR. Muslim)
2.
Rukhshah (izin) Orang Musafir
a. Diizinkan bagi orang musafir untuk
mengurangi (qashar) shalat-shalat wajib dari empat raka’at mejadi dua raka’at
yaitu shalat Dhuhur, shalat Ashar dan shalat Isya’
b. Diizinkan taqdim (mendahulukan)
shalat yaitu taqdim shalat Ashar diwaktu Dhuhur dan taqdim shalat Isya’ diwaktu
Maghrib
c. Diizinkan takhir (menunda) shalat
yaitu menunda (takhir) sholat Dhuhur diwaktu Ashar dan menunda (takhir) sholat
Maghrib diwaktu Isya’
d. Diizinkan baginya tidak melakukan
shalat Jum’at atau tidak wajib baginya sholat Jum’at jika ia keluar dari
negerinya sebelum sholat fajar di hari Jum’at dan harus menggantikannya dengan
shalat Dhuhur dua raka’at (diqasarkan).
e. Diizinkan baginya untuk berbuka
puasa dibulan Ramadhan yaitu bagi musafir diizinkan baginya untuk tidak
berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib baginya meng-qadha (membayar) puasanya
pada bulan-bulan yang lain tanpa membayar fidyah.
3.
Mulai dan Selesai Shalat Musafir
a. Permualaan shalat musafir dimulai
dari jika ia keluar sebagai musafir dan sudah melewati perbatasan negerinya.
b. Selesainya shalat musafir dimulai
dari jika ia kembali dari perjalananya dan sudah memasuki perbatasan negerinya
Semua ini dilakukan dengan niat
beriqamah (menetap) selama 4 hari 4 malam bagi yang mempunyai keperluan biasa
tidak termasuk hari masuk dan hari keluarnya musafir. Bagi yang menunggu suatu
penyelesaian, yaitu jika musafir tinggal di sebuah daerah untuk menunggu
selesainya urusan yang diperkirakan (selesai) sebelum empat hari (namun
ternyata perkiraan itu meleset dan ternyata lebih dari empat hari) maka
pendapat yang shahih menurut madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i adalah boleh
mengqashar shalatnya sampai delapan belas hari.
عَنْ
عِمْرَان بْنِ حُصَيْن رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ قَالَ : غَزَوْتُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَهِدْتُ مَعَهُ الْفَتْحَ ،
فَأَقَامَ بِمَكَّةَ ثَمَانِي عَشْرَةَ لَيْلَةً لَا يُصَلِّي إِلَّا رَكْعَتَيْنِ
، وَيَقُولُ : يَا أَهْلَ الْبَلَدِ صَلُّوا أَرْبَعًا فَإِنَّا قَوْمٌ سَفْرٌ
(رواه أبو داود و البيهقي وحسنه الترمذي)
Sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan dari Imran bin al-Hushain ra ia berkata ”Kami berperang bersama
Rasulallah saw dan menyaksikan fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dan kami
duduk di Makkah 18 hari, kami tidak shalat keculai dua raka’at (diqashar).
Rasulallah saw bersabda ”Wahai penduduk Makkah beshalatlah kalian 4 raka’at sesungguhnya
kami orang orang yang bermusafir”. (HR Abu Dawud dan Al-Baihaqi, dan
At-Tirmidzi mejadikan hadits ini hasan)
4.
Syarat mengurangi (meng-qashar) shalat
a. Negeri yang dituju harus ditentukan.
Hal ini agar bisa diketahui apakah boleh mengqashar shalatnya atau tidak.
b. Maksud perjalanannya harus mubah
bukan untuk bermaksiat, karena rukhshah (izin) untuk mengqashar shalat
dibolehkan bagi musafir yang bukan bertujuan untuk maksiat.
Allah berfirman
فَمَنِ
اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ –
المائدة ﴿٣﴾
”Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Maidah:3)
c. Negeri yang dituju harus lebih dari
jarak yang telah ditentukan oleh agama. Ada perselisihan jarak menurut jumhur
ulama. Menurut imam Syafie Jarak negeri yang dituju harus 4 barid (80.64 Km),
yakni harus lebih dari 80.64 km.
عن ابْنَ عُمَرَ وَابْنَ عَبَّاسٍ
كَانَا يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَهَا (البيهقي
بإسناد صحيح)
Sesuai dengan riwayat bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Umar ra
bershalat dua raka’at dan tidak berpuasa dalam bepergian lebih dari 4 barid”
(HR Baihaqi dengan isnad shahih).
عَنْ عَطَاءٍ , قَالَ : سَأَلْتُ
ابْنَ عَبَّاسٍ , فَقُلْتُ : أَقْصُرُ الصَّلاةَ إِلَى عَرَفَةَ ؟ قَالَ: لاَ،
قُلْتُ: إِلَى مِنًى ؟ قَالَ: لاَ، , وَلَكِنْ إِلَى جُدَّةَ وَإِلَى عَسْفَان
وَإِلَى الطَّائِفِ (الشافعي و البيهقي بإسناد صحيح)
Begitu pula menurut riwayat Atha’,
dia bertanya kepada Ibnu Abbas ”Apakah aku menqashar shalatku jika aku
bepergian ke Arafah?” ia menjawab ”Tidak”. Kemudian Atha’ bertanya ”Kalau ke
Mina?”, ia menjawab ”Tidak. Tapi ke jeddah, ke Asfan dan ke Taif (boleh
mengqashar)” (HR As-Syafie dan al-Baihaqi dengan sanad yang shahih).
Dari hadist ini kita bisa mengambil
istimbath bahwa jarak antara Makkah ke Thaif atau ke jeddah atau ke Asfan
adalah 4 barid (lebih dari 80.64 km) .
d. Shalat yang diqashar (dikurangi)
harus shalat shalat yang bilangan raka’atnya empat raka’at yaitu shalat Dhuhur,
Ashar dan Isya’, sesuai dengan ijma ulama
e. Harus melakukan niat mengurangi
(mengqashar) shalatnya sewaktu takbiratul ihram, karena asal shalat yang
diqashar adalah empat raka’at, maka jika ingin diqashar menjadi dua raka’at
harus diniati sebelum takbiratul ihram.
f. Tidak boleh bermakmum dibelakang
orang yang shalatnya sempurna
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَما سُئِلَ : مَا بَالُ الْمُسَافِرِ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ إذَا انْفَرَدَ
وَأَرْبَعًا إذَا ائْتَمَّ بِمُقِيمٍ ؟ فَقَالَ تِلْكَ السُّنَّةُ (رواه مسلم)
Dari Ibnu Abbas ra, ia ditanya: kenapa musafir bershalat dua
raka’at jika sendiri dan empat raka’at jika berma’mum kepada yang bermukim? Ia
menjawab ”itu adalah sunnah” (HR Muslim). Yang dimaksud dengan sunnah adalah
sunah Nabi saw.
5.
Menjam’a (Menggabung) Shalat
Bagi musafir boleh mejama’
(menggabung) antara dua shalat yaitu menggabungkan antara shalat dhuhur dengan
ashar atau maghrib dengan isya’ dan dikerjakan dalam waktu salah satunya yaitu
boleh dikerjakan dalam waktu dhuhur atau dalam waktu ashar begitu pula dalam
waktu maghrib atau dalam waktu isya.
Jadi seorang musafir boleh men-jama’
(menggabung) shalatnya baik jama’ taqdim atau jama’ ta’khir.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ بَيْنَ
الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ إِذَا جَدَّ بِهِ السَّيْرُ (رواه الشيخان)
Sesuai
dengan hadits dari Ibnu Abbas ra ia berkata ”sesungguhnya Rasulallah saw
menjama’ (menggabung) antara maghrib dan isya’ jika dalam perjalanan (HR
Muttafaqun ’alih).
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ
تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ
فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ
ثُمَّ رَكِبَ (رواه الشيخان)
Begitu pula hadits dari Anas bin Malik ra.: Rasulullah
s.a.w. ketika bepergian sebelum matahari condong ke barat, beliau mengakhirkan
sholat dhuhur di waktu ashar, lalu beliau berhenti dan menjama’ (menggabung)
keduanya. Apabila beliau berangkat setelah masuk waktu sholat maka beliau
sholat dulu lalu memulai perjalanan. (HR Bukhari Muslim).
6.
Syarat Mendahulukan (Men-taqdim) Shalat
a. Shalat yang pertama harus
didahulukan baru setelah itu shalat yang kedua (shalat Dhuhur lebih dahulu
kemudian men-taqdim shalat Ashar, begitu pula shalat Maghrib lebih dahulu
kemudian men-taqdim shalat isya’)
b. Harus niat menggabung (jama’) antara
shalat pertama dan kedua dan niat dilakukan waktu melakukan shalat pertama. (niat
dalam hati tak perlu ditalqilkan)
c. Kedua shalat harus dilakukan secara
berturut-turut (tertib) yaitu tidak boleh ditunda terlalu lama atau jangan
diselangi dengan waktu yang panjang. Karena kedua shalat dianggap satu shalat.
Rasulallah saw sewaktu menjama’ kedua shalat beliau lakukan secara
berturut-turut dan tidak melakukan shalat sunnah antara kedua shalat
d. Harus masih dalam keadaan musafir
sewaktu melakukan shalat kedua.
7.
Syarat Menunda (Men-takhir) Shalat
a. Niat menunda (men-takhir) shalat
pertama ke dalam shalat kedua, misalnya niat menunda shalat Dhuhur ke waktu
shalat Ashar (masuknya waktu sholat dhuhur dalam keadaan tidak shalat), begitu
pula niat menunda shalat Maghrib ke waktu shalat Isya’ (masuknya waktu shalat
Maghrib dalam keadaan tidak shalat)
b. Harus masih dalam keadaan musafir
saat selesai sholat kedua
8.
Men-jamak (Menggabung) Shalat Ketika Hujan
Shalat ini merupakan rukhshah (keringanan) dari Allah. Jika
suatu ketika hujan turun, boleh men-jamak (menggabung) shalat di masjid antara
zhuhur dan ashar, juga maghrib dan Isya. Hal ini sebagai rukhshah. Bahkan
dianjurkan untuk men-jamak shalat dalam rangka memudahkan mereka dan mendapat
kesulitan jika keluar. Atau mereka boleh mengerjakan shalat sendiri sendiri di
rumah dan tidak melaksanakanya berjama’ah di masjid.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ : جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ ، فِي
غَيْرِ خَوْفٍ وَلا سَفَرٍ (رواه الشيخان)
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: Sesungguhnya Rasulallah saw
menjamak antara dzuhur dan ashar dan antara maghrib dan isya’ di Madinah
tidak karena rasa takut (waktu perang) atau pepergian (safar) – (HR Bukhari
Muslim.) Yang dimaksud disini mejamak shalat ketika turun hujan
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Shalat merupakan penyerahan diri secara talalitas untuk
menghadap Tuhan, dengan perkataan dan perbuatan menurut syarat dan rukun yang
telah ditentukan syara.
2.
Sholat bagi orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua
harus berusaha melaksanakan kewajibannya menurut kemampuan masing-masing.Banyak
sekali kaum muslimin yang kadang meninggalkan sholat dengan dalih sakit atau
memaksakan diri sholat dengan tata-tata cara yang biasa dilakukan orang sehat.
Akhirnya merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang
menyusahkannya.
3.
Boleh jama’ sebab hujan namun hanya jama’ taqdim, ini hanya
diperuntukan bagi orang yang shalat berjama’ah disuatu tempat baik berupa
masjid, musholla, dan sekolah yang jauh dari kediamannya. Di dalam sahih
Bukhari Muslim diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.
“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW shalat di Madinah tujuh rakaat
dengan dijama’ dan delapan rakaat dengan dijama’.
4. Sakit merupakan cobaan dan
ujian manusia, dan apabila seseorang sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian
sakit ini, dan tetap menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, khususnya
perintah shalat, maka akan mengurangi dosa-dosanya, sekalipun shalat itu
dikerjakan dengan cara dijama’,
“Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al
Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah
boleh baik secara taqdim atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah
lebih berat dibanding hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu
kuat.” (al-Mughni;2:120, Fiqhus Sunnah;2:230)
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan
diatas kelompok mencoba mengemukakan saran sebagai pertimbangan untuk
meningkatkan kualitas ibadah kita . Adapun saran-saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut :
1.
Kewajiban mengenal hukum-hukum dan tata cara sholat orang yang
sakit dan musafir sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
penjelasan para ulama.
2.
Di antara hukum-hukum yang berhubungan dengan orang sakit dan
musafir dalam ibadah sholatnya adalah:
a.
Orang yang sakit tetap wajib sholat diwaktunya dan
melaksanakannya menurut kemampuannya
b.
Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam
segala kondisinya selama akalnya masih baik .
c.
Orang
sakit yang berat untuk mendatangi masjid berjama’ah atau akan menambah dan atau memperlambat kesembuhannya bila sholat berjamaah
di masjid maka dibolehkan tidak sholat berjama’ah
d.
Orang dalam perjalanan jauh wajib untuk tidak meninggalkan
shalat.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Abidin, S.A.
Zainal, Kunci Ibadah, (Semarang: PT.Karya Toha Putra Semarang, 2001)
2. Hamid ,Abdul.
Beni HMd Saebani, Fiqh Ibadah, (Bandung: Pustaka Setia, 2009).
3. Haryono,
Sentot, Psikologi Salat, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003).
4. Ritoga, A.
Rahman, M.A. Dr. Zainuddin, M.A, Fiqh Ibadah, ( Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2002),
5. Sayyid Sabiq. Fiqh Ibadah. Darul
Fath. Jakarta. 2010
6.
http://maramissetiawan.wordpress.com/2009/04/13/shalat-orang-yang-sakit/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar