PERKEMBANGAN PSIKOLOGIS REMAJA
A.
Pembentukan
Konsep Diri
Remaja adalah masa transisi dari periode anak ke
dewasa, secara psikologis kedawasaan adalah keadaan dimana sudah ada ciri-ciri
psikologis tertentu pada seseorang. Cirri-ciri psikologis itu menurut G.W.Allport
(1961)adalah:
1.
Pemekaran Diri
Sendiri (extension of the self), yang
ditandai dengan kemampuan seseorang untuk menganggap seseorang atau hal lain
sebagai bagian dari dirinya sendiri juga, perasaan egoisme berkurang dan tumuh
perasaan ikut memiliki, berkembangnya ego
idea (cita-cita).
2.
Kemampuan untuk
melihat diri sendiri secara objectif (self
objectivication) yang ditandai dengan kemampuan untuk mempunyai wawasan
tentang diri sediri (self insight)
dan kemampuan untuk menangkap humor (sense
of humor).
3.
Memiliki
Falsafah Hidup Tertentu (unifying
philosophy of life), orang seperti ini tidak lagi mudah terpengaruh dan
pendapat-pendapat serta sikap-sikapnya cukup jelas dan tegas.
B.
Perkembangan
Inteligensi
Intelegensi menurut David Wechsler (1985) dalam Sarwono
2011 di definisikan sebagai “keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir dan
bertindak secara terarah serta mengolah dan menguasai lingkungan secara
efektif”. Jadi, intelegensi memang mengandung unsur pikiran atau rasio. Makin bnyak unsure rasio yang
digunakan dalam suatu tindakan atau tingkah laku, makin berinteligensi tingkah
laku tersebut.
Jenis-jenis intelegensi menurut Howard Gardner
(1993, 1999) dalam sarwono 2011:
1.
Bodily-kinesthetic:
kecerdasan yang terkait dengan gerakan anggota tubuh.
2.
Interpersonal:
kecerdasan yang terkait dengan hubungan dengan orang lain. Peka terhadap
perasaan, sifat dan motivasi orang lain, berkomunikasi dengan efektif, mudah
berempati, mampu bekerja sama dengan orang lain dan menjadi bagian dari
kelompok.
3.
Verbal-linguistic:
kemampuan yang terkait dengan kata-kata lisan maupun tertulis.
4.
Loghical-mathematical: menyangkut logika
penggunan akal, kemampuan abstraksi dan angka.
5.
Intrapersonal:
kemampuan utama adalah introspeksi dan refleksi diri. Orang yang tergolong intelegensi
intrapersonal yang tinggi biasanya tergolong introvert. Mereka paham akan
dirinya sendiri, kekuatan dan kelemahan dirinya dan mampu meramalkan reaksi dan
emosinya sendiri.
6.
Visual-spatial: terkait dengan kemampuan yang
tinggi dalam mengambil keputusan dalam bidang penglihatan dan ruang (space).
Memori visualnya sangat kuat dan mereka mahir memainkan memori itu menjadi
sesuatu yang baru, indah atau artistic.
7.
Musical:
kecerdasan musikal terkait irama, musik, nada dan pendengaran.
8.
Naturalistic:
jenis intelegensi ini lebih condong pada minat, bukan intelegensi, namun banyak
juga yang beranggapan bahwa kecerdasan naturalistik ada dan berdiri sendiri.
Kaitan intelegensi ini dengan alam baik pengenalan maupun pemeliharaan alam.
Menurut
jean piaget (1896-1980) dalam sarwono 2011. Teori Intelegensi yang meninjaunya
dari sudut perkembangan aspek-aspek kognitif, yaitu:
1.
Kematangan, yang
merupakan perkembangan susunan syaraf, sehingga fungsi-fungsi indra menjadi
lebih sempurna.
2.
Pengalaman,
yaitu hubungan timbal balik dengan lingkungannya.
3.
Transmisi
Sosial, yaitu hubungan timbal-balik dengan lingkungan social.
4.
Ekuilibrasi,
yaitu sistem pengaturan dalam diri anak itu sendiri yang mampu mempertahankan
keseimbangan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya (Gunarsa, 1982)
Tahap-tahap perkembangan kognitif menurut piaget
adalah:
1.
Tahap I: Masa Sensori-motor
(0-2,5 tahun). Masa ketika bayi menggunakan sistem pengindaraan dan aktivitas
motorik untuk mengenal lingkungannya.
2.
Tahap II: Masa
Praoperasional (2,0-7,0 tahun). Ciri khasnya adalah kemampuan menggunakan
symbol , yaitu mewakili sesuatu yang
tidak ada contohnya mobil mainan.
3.
Tahap III: Masa
konkret-operasional (7,0-11,0 tahun). Pada tahap ini anak sudah bisa melakukan
berbagai macam tugas yang konkret. Ia mulai mengembangkan tiga macam operasi
berpikir, yaitu:
Identitas : mengenali sesuatu
Negasi : mengingkari sesuatu
Resiprokasi : mencari hubungan
timbal-balik diantara beberapa hal
4.
Tahap IV: Masa
Formal-Operasional (11,0-dewasa). Dalam usia remaja dan seterusnya seseorang
sudah mamou berfikir abstrak dan hipotesis.
C.
Perkembangan
Peran Sosial
Gejolak emosi remaja dan masalah remaja lain pada
umumnya disebabkan antara lain oleh adanya konflik peran sosial. Di satu pihak
dia sudah ingin mandiri sebagai orang dewasa, di lain pihak ia masih harus
terus mengikuti kemauan orang tua. Konflik peran yang dapat menimbulkan gejolak
emosi dan kesulitan-kesulitan lain pada masa remaja dapat dikurangi dengan
membari latihan-latihan agar anak dapat mandiri sedini mungkin. Dengan
kemandiriannya, anak dapat memilih jalannya sendiri dan ia akan berkembang
lebih mantap.
D.
Perkembangan
Peran Gender
Peran gender pada hakikatnya adalah bagian dari
peran sosial pula, maka seorang anak harus mempelajari perannya sebagai anak
dari jenis kelamin tertentu terhadap jenis kelamin lawannya. Peran gender ini
tidak hanya di tentukan oleh jenis kelamin orang yang bersangkutan
tetapi juga oleh lingkungan dan faktor lainnya. “Masyarakat dengan pola
perawatan dan pengasuhan anak-anak hanya semata-mata tanggung jawab wanita dan
kekuatan fisik sangat menentukan dalam kehidupan perekonomian, maka perbedaan
peran gender adalah yang paling tajam”(basow, 1984) dalam sarwono 2011.
E.
Perkembangan
Moral dan Religi
Moral dan religi merupakan bagian yang cukup
pnting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi
bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa sehingga ia tidak
melakukan sesuatu yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau
pandangan masyarakat. Religi, yaitu kepercayaan terhadap kekuasaan atau suatu
zat yang mengatur alam semesta ini adalah sebagian dari moral, sebab dalam
moral sebenarnya diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan,
serta perbuatan yang dinilai tidak baiksehingga perlu dihindari. Agama,
mengatur juga tingkah laku baik-buruk, secara psikologis termasuk dalam moral.
Hal lain yang termasuk dalam moral adalah sopan-santun, tata karma, dan
norma-norma masyarakat lain.
Menurut aliran psikoanalisis,
orang-orang yang tak mampunyai hubungan yang harmois dengan orang tuanya di
masa kecil kemungkinan besar tidak akan mengembangkan super ego yang cukup kuat
sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Sedangkan menurut aliran non psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan orang tua
bukan satu-satunya sarana pembentukan moral.
Menurut W.G. Sumer (1907) dalam sarwono
2011, berpendapat bahwa tingkah laku manusia yang terkendali disebabkan oleh
adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi
tersendiri buat pelanggaran-pelanggarannya. Control masyarakat itu adalah:
1.
Folksway, yaitu
tingkah laku yang lazim, misalnya makan dengan tangan, bekerja atau bersekolah.
2.
Mores, yaitu
tingkah laku yang sebaiknya di lakukan, misalnya: mengucapkan terima kasih atas
jasa seseorang.
3.
Law (hukum),
tingkah laku yang harus dilakukan atau di hindari, misalnya: tidak boleh
mencuri dan harus membayar hutang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar